PENULIS, sungguh profesi bergengsi, tapi terkadang
juga miris. Miris? Iya miris dan kadang membuatku meringis,
bukan karena sakit, tapi pengen menangis kegelian saja. Mengapa?
Okeh, saya akan menjawab pertanyaan ini dengan
beberapa jawaban. Pertama, miris karena
memutuskan untuk menjadi penulis berarti kita harus siap menanggung
resikonya; menjadi KAYA, atau sebaliknya.
Banyak penulis yang menjadi kaya sebab karier
kepenulisannya. Banyak juga yang sudah kaya, baru kemudian menulis buku
kita-kiat menjadi kaya. Tak kalah banyaknya, sudah cukup lama jadi penulis,
tapi tidak kaya-kaya. Nah, miris bagi penulis yang memasuki golongan terakhir,
mudah-mudahan itu bukan anda. Tapi jangan khawatir, karena peluang untuk
menjadi KAYA dengan MENULIS sungguh lebih MENGGODA. Tinggal bagaimana kita
menghasilkan karya-karya yang FANTASTIS dan laris MANIS. Insya Allah
jadi kaya; kaya ilmu, kaya relasi, kaya amal, kaya harta dan kaya-kaya lainnya.
Mau? Nanti kita bicarakan ya.
Kedua, miris pada saat-saat diremehkan, tak
dianggap, atau lebih tepatnya tak dimengerti. Sahabat saya, penulis juga, Dwi
Suwiknyo namanya, pernah menuturkan pengalamannya saat petugas survey
kependudukan mendatangi kediamannya. Saat Dwi ditanya soal pekerjaannya, dia
menjawab apa adanya; ”Saya penulis.” Lalu apa respon petugas survey itu? ”Loh
mas, di form ini tidak ada profesi PENULIS”
Hal semisal ini benar-benar membuatku meringis.
Waktu itu kami - aku dan istriku maksudnya - sedang wawancara dengan pegawai
sebuah bank, ceritanya mau ngambil KPR. Tentu, aku juga ditanya soal pekerjaan
dan penghasilan. Saat aku bilang ”PENULIS,” pegawai bank itu bengong. Nampaknya
memang tak ada yang namanya pekerjaan menjadi penulis di benaknya. Miris lagi
ketika ditanya soal slip gaji. Lha, nggak ada je, biasanya
tranfer-transter aja beres.
Rupanya pekerjaanku sama sekali tidak dianggap.
Ketika hendak penandatangan kontrak kredit, ternyata kami harus membayar uang
muka lebih banyak dari pada nasabah lain yang mengambil kredit serupa. Dugaanku
tadi, aku tidak punya slip gaji. Gak jelas, sebenarnya punya penghasilan apa
tidak. Miris.
Ketiga, miris bila naskah tak kunjung diterima. Ini pengalaman banyak penulis,
tapi sekali lagi, mudah-mudahan bukan anda. Memang, seperti seorang pemuda yang
melamar gadis, atau cowok narsis yang menembak cewek manis, menjadi penulis
juga harus siap bila naskahnya DITOLAK. Bahkan seorang penulis tersohor seperti
Joni Ariadinata pernah ratusan kali naskahnya tidak diterima. Benar, ditolak
itu biasa. Nah, ’miris’ kan jadi penulis?
Anehnya, saat ini banyak sekali orang yang pengen
jadi orang miris. Termasuk engkau yang baca buku ini ya? Tidak mengapa,
berbagialah orang-orang yang miris, sebab dengan miris itulah engkau punya
peluang untuk benar-benar menjadi PENULIS.
Oia, yang lebih miris lagi – ini kata Salim A.
Fillah – adalah penulis yang tulisannya
menginspirasi kejahatan dan keburukan. Berantai-rantai dosa ditambahkan,
bertimbun-timbun ke catatan amalnya. Akan berteriak dia kelak di hadapan Allah:
"Ya Allaah ini dosa siapaaaaaaaaaaaaaa?"
Na’udzubullahi min dzaalik, untuk yang satu ini jangan
pernah terjadi pada kita. Lebih baik tidak jadi penulis, dari pada tersohor
karena karier kepenulisan, tapi harus terjun ke neraka pada akhirnya. Sekali
lagi na’udzu billah. Mari
kita menjauh dari yang demikian itu, kita mulai niat yang tepat.
0 komentar :
Posting Komentar