Rabu, 19 Maret 2014

Buku dalam Liku Hidupku

Hingga menduduki bangku SLTA, aku hampir tak mengenal buku, kecuali buku-buku pelajaran. Itu pun paling aku baca buku kalau mau ada ulangan. Memang, sesekali aku juga mampir ke perpustakaan sekolah, tapi paling buka-buka majalah. Tak banyak yang kubaca, malah seringkali aku hanya melihat-lihat gambar-gambarnya saja.
Baru ketika kuliah, aku mulai mengenal buku. Karena pada sistem perkuliahan tak ada buku pegangan khusus, terpaksa aku harus baca banyak buku.. Mulanya aku hanya baca-baca buku yang berkaitan dengan mata kuliah. Ternyata mengasyikkan. Aku seringkali menjadi larut ketika membaca.
Berikutnya, aku mulai pinjam buku-buku umum di perpustakaan kampus. Aku terpesona oleh Quantum Learning karya Bobby d’Poter dan Mike Hernacki, kemudian terkagum-kagum pada Steven Covey dengan The Seven Habits-nya. Buku The Seven Habits of Highly Effective People inilah yang sangat membuatku bersemangat untuk memperbaiki diri, juga terus membaca buku. Setelah itu, aku mulai keranjingan baca buku. Hampir setiap hari aku ke perpustakaan kampus untuk pinjam buku. Hari ini pinjam dua buku, besok aku kembalikan sambil pinjam dua buku lagi. Hampir semua buku di perpustakaan kampus yang menurutku menarik sudah aku baca.
Sesungguhnya aku bukanlah mahasiswa yang berpunya. Aku asli wong deso, orang kampung. Tepatnya orang kampung tertinggal. Bapakku dulu buka bengkel sepeda, tapi sudah memensiunkan diri karena bengkelnya mulai tak laku. Sedangkan emakku berjualan sayuran dan kebuhan sehari-hari di rumah. Untunglah, aku bisa kuliah. Beasiswa full study telah menolongku. Aku bisa kuliah gratis, hingga memperoleh sarjana.
Sangu dari emakku hanya cukup untuk beli bensin dan beli makan kala-kala. Akan tetapi kini buku telah menjadi kebutuhan. Bila jalan-jalan ke toko buku, aku seringkali tak tahan untuk membeli. Maka sedikit demi sedikit kusisihkan uang saku dari emakku untuk beli buku, dua bulan atau tiga bulan sekali. Menjelang akhir masa kuliah, aku bekerja di rental komputer. Meski penghasilanku sangat sedikit, setidaknya aku bisa lebih sering beli buku.
Buku menjadi harta yang sangat berharga bagiku, walaupun koleksiku tak banyak. Aku mulai bermimpi, andai punya penghasilan besar, aku akan belanja buku sebanyak-banyaknya. Aku ingin punya perpustakaan pribadi. Maka setiap kali ada kesempatan, aku berusaha untuk membeli buku. Aku senang sekali bila di Jogja ada pameran buku. Aku bisa beli buku-buku dengan diskon besar. Malah ada buku-buku yang diobral sangat murah. Sepuluh ribu dapat, bahkan lima ribu juga oke. Wah, kesempatan.
Hingga lulus kuliah, kesukkaanku baca buku tak sirna. Akan tetapi, kini aku tak bisa lagi pinjam di perpustakaan kampus. Memang aku juga punya kartu perpustakaan daerah. Akan tetapi aku kini tinggal di Magelang, sudah jarang ke Jogja. Tak mungkin aku bolak-balik Magelang-Jogja terus sekedar untuk pinjam buku. Mau tak mau, aku harus menyisihkan sebagian dari penghasilanku bekerja di Baitul Mall wat-Tamwil (BMT) untuk membeli buku. Emmakku sering terheran-heran dan bertanya; ”Buat apa beli buku lagi beli buku lagi? Kan sudah tidak kuliah?”
Alhamdulillah, kecintaanku terhadap buku berbuah manis. Bermula ketika aku memutuskan untuk mengundurkan diri dari BMT.Rencananya aku akan membuka rental komputer, kerja sama dengan kakak. Komputer telah dibeli. Akan tetapi tempat usaha yang telah kakak kontrak ternyata masih ditempati orang lain, jatuh tempo masih tiga bulan lagi. Padahal aku terlanjur mengundurkan diri.
Aku berpikir, apa yang dapat dilakukan dalam masa penantian ini?
MENULIS. Itu keputusanku.
Aku pun mulai menulis. Bermodal semangat, komputer dan perpustakaan pribadi yang koleksinya tak mencapai lima puluh buku. Pengalaman tidak, pembimbing apa lagi, tak ada. Pokoknya aku menulis. Bukan cerpen atau artikel, aku langsung menyusun sebuah buku.
Selesai menyusun naskah buku itu, aku langsung membawa soft copy-nya ke kantor penerbit Navila. Aku bertemu langsung dengan manajer penerbitan yang juga merangkap editor. Selain itu dia juga menulis buku. Solichul Hadi namanya. Naskahku dikopi ke komputer, langsung dibaca dan...., langsung DITOLAK!
Setidaknya aku punya satu pengalaman. Satu yang sangat aku ingat, manajer penerbitan itu bilang bahwa tulisanku terlalu kaku, tak enak dibaca.
Aku menulis lagi, kali ini dengan bahasa gaul ala remaja, bahasa tutur. Aku punya banyak kesempatan menulis, karena usaha rental komputer yang kini telah berjalan masih sepi pengunjung. Dalam dua minggu, naskah buku itu hampir selesai kutulis. Akan tetapi aku tak sabar untuk mendapat penilaian dari manajer penerbit yang kemarin. Maka aku bawa lagi tulisan itu ke kantor penerbitan yang sama. Kali ini aku hanya berharap masukan. Naskahku dikopi lagi ke komputer. Akan tetapi karena Pak Solichul Hadi sedang banyak pekerjaan, naskahku tak langsung dibaca.
Beberapa hari kemudian aku kontak Pak Solichul Hadi, berharap mendapat masukan darinya.
”Naskah saya bagaimana?” pertanyaanku.
”Oh, sudah diterima. Insya Allah akan segera kami terbitkan.”
JRENG!!!
Kejutan. Beberapa bulan kemudian, buku HIDUP KAYA RAYA MATI MASUK SURGA benar-benar terbit.  Pada covernya tertulis nama S. Rahman, nama penaku yang diberikan Pak Solichul Hadi. Siapa nyana?
Aku semakin semangat menulis, sembari menjaga rental komputer. Dalam dua minggu, naskah buku The Power of Smile selesai. Beberapa bulan kemudian, buku ini juga terbit. Masya Allah, aku benar-benar jadi penulis buku.
Setelah usaha rental komputer itu bangkrut, aku berganti-ganti pekerjaan. Mulai jadi anggota tim pendiri sebuah bank syari’ah, staff di sebuah kantor partai politik, hingga mendirikan Java Media Multimedian & Training Center bersama teman-teman. Yang tidak berubah, aku tetap menulis. Terbitlah buku Kekayaan Hati: Jadikan Hidup Anda Lebih Bermakna.
Menjelang pernikahan, bukuku yang keempat, CHANGE NOW! Jurus Duahsyat Muslim Huebat! sedang digarap oleh penerbit, tinggal tunggu tanggal. Kali ini bukuku gaul abis. Oleh Pro-U Media akan dibuat bookmagz, buku rasa majalah. Pada setiap lembarnya ada ilustrasi yang keren-keren. Karena itu aku mulai mencari nama pena baru. Nama S. Rahman rasanya kurang cocok untuk penulis buku gaul. Apa lagi nama asli, Surahman.
Seorang teman dekat yang juga penulis, Mr Fatan Fantastic memberi usul untuk nama penaku, Rahman Robert. Gila juga, tapi aku sempat tertarik. Akan tetapi setalah kucari-cari arti kata Robert, aku tidak dapat menemukannya. Paling mendekati adalah kata Rob; pencuri. Ah tidak jadi. Pada akhirnya, aku memutuskan untuk menggunakan nama pena Rahman Hanifan. Nah, buku Change Now dan buku-bukuku berikutnya terbit dengan nama pena itu.
Kepindahan ke Pemalang merupakan ujian tersendiri bagi karir kepenulisanku. Kotaku kecil. Komunitas penulis belum ada. Tuko buku kecil-kecil, bukunya tak lengkap. Mau pinjam buku juga tak banyak teman yang punya koleksi memadai.
Untunglah, bahwa setelah menikah, statusku benar-benar pengangguran. Maka aku tetap menulis. Dua buku kemudian terbit, MUSLIM TANGGUH dan TRUE FRIEND; Jurus Dahsyat Milih Sahabat!.
Tahun kedua di Pemalang, aku dilamar oleh sebuah yayasan, diminta jadi TU di SDIT ”Buah Hati.” Sampai saat ini aku masih bekerja di SDIT yang sama. Tak hanya menjadi TU, tapi juga guru dan lain-lain. Yang tidak berubah, aku tetap menulis. Alhamdulillah, beberapa buku atas namaku juga telah terbit semasa aku bekerja di SDIT.
Insya Allah, menulis akan terus menjadi bagian hidupku. Di mana pun berada. Mudah-mudahan, kesulitan-kesulitan yang aku temui, tak membuatku lelah dan menyerah. Nah, engkau bagaimana? Aku tunggu karya-karyamu.
Di samping itu, insya Allah kecintaanku akan buku takkan pernah sirna. Buku telah menjadi bagian hidupku. Seringkali buku dapat menjadi teman yang sangat menyenangkan, hingga membuatku tak henti-henti mengasyikinya. Akan tetapi tak cukup sampai di situ. Buku juga adalah gerbang dunia. Pikiranku dapat terbang melintas-lintas batas negara, meski raga berada di rumah. Dari buku aku mengerti banyak hal. Mulai dari hal-hal ringan hingga perkara-perkara serius. Mulai dari cara membuat layang-layang hingga parenting skill.

Alhamdulillah, kini aku bisa lebih sering membeli buku. Terutama ketika ada pameran buku, aku takkan sia-siakan kesempatan, belanja sebanyak aku bisa. Koleksiku bertambah, meski aku merasa masih sedikit. Apa lagi untuk ukuran seorang penulis, 250 buku pada perpustakaan pribadiku rasanya sedikit sekali. Mudah-mdahan Allah selalu memberiku kesempatan untuk terus manambah koleksi buku, juga menulis buku sendiri. Amin.

Artikel terkait

4 komentar :

  1. Inspiratif. Kalau jumlah buku yg ditulis, saya belum bisa ngejar, kalah jauh dari mas rahman. untungnya, kalau koleksi buku saya lebih banyak, sekitar 400-an. terkadang beli baru, beli di pameran, beli di lapak buku bekas atau hadiah dari nulis resensi. alhamdulillah

    BalasHapus
  2. He, gak tahu total buku sekarang sekitar berapa, tapi belum sampai 400 jdulu deh. Tapi kalau koleksi ditambah stok Bercerita Hujan dsb ya cuku banyak...

    BalasHapus
  3. Apa pun profesinya, yang penting tetap bisa menulis (buku) lagi. Top mas!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul..., insya Allah. Saling menyemangati, saling doa...

      Hapus