Senin, 24 April 2017

Aku, Menulis dan FLP

Tahun 2003 seingatku, di akhir masa kuliah, diajak teman aku bergabung menjadi anggota FLP Yogyakarta. Waktu itu masih jamannya Galang Lufityanto, Ganjar Widhiyoga, Jazimah Al-Muhyi, Hara Hope dan lain-lain yang aku sudah lupa. Sekedar ikut-ikutan saja, biar ada kegiatan. Tapi aku senang mengikutinya, setidaknya aku punya teman-teman baru. Menulis jelas bukan duniaku waktu itu. Bahkan aku kenal baca buku saja sewaktu kuliah. Dari SD hingga SMK tak kenal buku kecuali buku pelajaran. Nah menulis…, aih.
 Ah, suatu sore di pertemuan rutin FLP Yogyakarta, pengurus memberi tugas kepada seluruh anggota untuk membuat tulisan bebas. Ya, bebas sebebas-bebasnya. Akan tetapi aku bingung mau nulis apa. Hingga mendekati dead line waktu, aku pun menulis, kira-kira begini. “Aku sedang mengikut pertemuan Forum Lingkar Pena Yogyakarta. Panitia memberiku tugas menulis bebas. Tapi aku bingung mau nulis apa. Ya sudah, aku tulis ini saja.”
Ya, begitu, hanya begitu. Betapa lugunya. Betapa aku tak bisa nulis. Di lain kesempatan, giliran karyaku, sebuah cerpen dibedah. Ah, hancur. Dibantai aku. Juelek banget.., barangkali itu pikir teman-teman. Tak mengapa, sebab memang waktu itu aku sama sekali tak berniat jadi penulis. Tiada bakat sedikit pun, pikirku. Memang, hingga hampir lulus kuliah itu, aku belum tahu apa bakatku.
Waktu berlalu. Aku lulus kuliah, kerja.  Aku semakin jarang mengikuti pertemuan rutin FLP. Hingga tidak sama sekali. Menulis bukan duniaku.
Terus bagaimana ceritanya aku bisa jadi penulis? Begini. Tahun 2005, aku resign dari sebuah BMT, koperasi syariah terbesar di Indonesia kala itu. Sebabnya, aku dan kakak berencana membuka rental komputer.  Kami telah membeli beberapa komputer, akan tetapi tempat usaha belum tersedia. Kakak sudah memesan tempat kontrakan, akan tetapi kami masih harus menunggu beberapa waktu, sebab tempat usaha itu masih ditempati. Padahal aku terlanjur resign.
Tiada kegiatan. Bingung mau apa. Ada komputer. Nulis.
Ya, aku menulis. Serius kali ini. Tersemangati oleh kakak kelas di kampus yang katanya sudah menerbitkan buku, aku jadi pengen. Maka aku nulis buku. Ya, nulis buku. Tidak nulis cerpen seperti waktu ikut FLP. Tidak nulis artikel untuk Koran atau majalah. Hampir tiap hari aku menulis. Ngebut, sehari bisa sepuluhan halaman. Sekitar dua pekan, satu naskah buku kelar.
Naskah itu kubawa ke penerbit, Navila group yang kantor Jl. Kaliurang, mendekat ke Merapi. Aku ketemu kakak tingkatku di kampus yang telah menerbitkan buku itu. Solichul Hadi namanya. Dia menjabat sebagai manager sekaligus senior editor di penerbit tersebut. Naskah kuberikan padanya.  Langsung dikopi ke komputer, langsung dibaca, dan langsung…
DITOLAK.
Itu sebuah pengalaman. Dan pengalaman adalah pelajaran. Kata Kak Solichul Hadi, tulisanku bahasanya terlalu kaku, tidak menarik. Aku tak menyerah, nulis lagi, ngebut lagi. Sehari masih bisa sepuluhan halaman. Kali ini dengan bahasa yang rebih ringan, lebih renyah. Dua pekan, satu naskah buku hampir kelar. Tak sabar aku. Kubawa naskah baru itu ke peberbit yang sama. Kembali aku bertemu dengan Solichul Hadi. Naskahku di kopi. Sayangnya kali ini tak bisa langsung dibaca. Barangkali karena lagi sibuk, atau berpikir tulisanku pasti tak bermutu, sudah ada pengalaman sebelumnya.
Aku pun tak berharap banyak. Tujuanku terutama adalah untuk mendapat masukan, tentang naskahku yang baru. Aku tak sabar untuk mendapatkan kabar tentang naskahku itu. Ingin dapat masukan dari penerbit. Dua pekan kira-kira setelah kukirimkan naskah itu, aku menelpon peberbit. Kak Solichul Hadi juga yang mengangkat. Mengesampingkan rasa malu aku pun bertanya: “Kak, gimana naskahku?”
Sekali lagi, aku hanya ingin mendapat masukan tentang tulisanku yang baru. Ingin bisa menulis lebih baik. Barangkali kelak, aku jadi penulis beneran. Barangkali tulis-menulis akan menjadi duniaku. Lalu apa jawaban Kak Solichul Hadi? 
“Oh, naskamu sudah diterima. Insya Allah, nanti sekitar dua tiga bulan bisa terbit.”
Jreng!!!
“Hidup Kaya Raya Mati Masuk Surga,” keren juga kan judul buku pertamaku. Tentu saja aku sama sekali belum kaya raya, apa lagi masuk surga. Akan tetapi itu sebuah cita-cita. Covernya asyik, ilustrasi bikinan Firman yang kelak menjadi temanku, bahkan ngontrak bersama di satu rumah.
Dapat menerbitkan buku rasanya sungguh luar biasa. Seperti mimpi. Kubuka lagi-kubuka lagi buku bersampul merah dengan gambar orang berleha-leha itu. Ini bukuku. Keren.., aku penulis. Kubaca berulang, meski aku sendiri yang menulis, cukup hapal apa isinya. Lalu kala honor menulis pertama kali dapat kupegang. Ah, bahagia. Uang terbanyak yang sempat aku pegang kala itu.
Terbit satu buku membuat semangat menulisku makin membara. Beku berikutnya kurancang, kutulis, makin ngebut. Dua pekan kemudian satu naskah buku kembali rampung kugarap. Kuberikan naskah itu ke Kak Solichul Hadi. Cukup lama aku tak mendapat kabar naskahku. Sementara aku mulai sibuk mengurusi rental komputer yang sudah buka. Tapi kemudian Kak Solichul Hadi mengabarkan, bahwa dia berencana menerbitkan bukuku itu sendiri, bikin penerbitan sendiri. Betul, selang dua atau tiga bulan, buku keduaku terbit, “The Power of Smile.”  Hasyiik…!
Sebab telah menerbitkan buku itu, aku jadi PD untuk bergabung lagi degan FLP. Beberapa kali aku sempat ikut lagi pertemua FLP Yogyakarta di Balerung UGM sayap selatan. Di situ aku kenal Mas Ferry Muhammad, seorang penulis yang punya penerbitkan buku. Dua naskah buku yang telah kutulis kuserahkan padanya. Beberapa waktu kemudian dia mengabarkan bahwa akan menerbitkan salah satu naskahku. Ah, luar biasa. Cukup lama proses penerbitannya. Aku bersabar. Sempat Mas Ferry mengajakku ke percetakan, lalu memberikan setting buku itu sebelum dicetak. Dan ketika buku ketigaku benar-benar terbit, aku semakin yakin, bahwa aku memang bisa menulis, he.
Beberapa pihak pun mulai mengenalku sebagai penulis buku. Sempat aku diundang beberapa pihak untuk bedah buku. Selanjutnya, aku harus belajar ngomong. Ya, ngomong. Sebab aslinya aku ini pendiam. Jarang-jarang bicara. Kalau pun bicara, suaraku lirih, nyaris tak terdengar. Memang, dulunya aku pemalu, sangat pemalu. Akan tetapi, setelah menerbitkan buku, aku jadi lebih PD bicara di depan publik. Meski seringkali aku harus latihan dan mempersiapkan betul-betul apa yang hendak kusampaikan ketika mengisi bedah buku, kajian ataupun training.
Karier kepenulisanku sedikit naik setelah buku keempatku terbit. “Change Now! Jurus Dahsyat Muslim Huebat!” diterbitkan BookMagz Pro-U Media. Ya, Pro-U, penerbit keren di Jogja itu. Setelah buku ke empat itu terbit, aku jadi lebih sering diminta jadi pembicara. Entah untuk bedah buku, training kepenulisan atau yang lainnya. Rasanya, aku benar-benar jadi penulis.
Awal tahun 2007 aku menikah, lalu pindah ke Pemalang, tanpa pekerjaan. Satu yang kubisa, menulis. Maka itu yang aku lakukan. Setahun kemudian aku mulai bekerja di SDIT Buah Hati, memulai karier sebagai TU. Kemudian menjadi guru PAI, TIK, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, hingga Waka Kesiswaan dan terakhir Waka Kurikulum. Bersama itu, beberapa bukuku terbit. Ada True Friend, Muslim Tangguh, Unlimited Learning, Journey of Life…
Di sisi lain, seorang teman menggandengku untuk mendirikan FLP Cabang Pemalang. Pak Prapto namanya. Kabarnya beberapa artikelnya pernah dimuat di Koran. Tentu saja aku setuju, sebab menulis memang telah menjadi duniaku. Aku pun kontak-kontak Mba Izzatul Jannah, ketua FLP Jawa Tengah kala itu. Bersama PAKAR; Pusat Kajian Remaja, akhirnya FLP Cabang Pemalang Lounching. Kali itu sempat menghadirkan Afifah Afra.
Mula-mula kegiatan rutin FLP Pemalang diikuti cukup banyak peserta, akan tetapi semakin surut dan surut. Malah Pak Prapto, sang ketua juga mulai kurang aktif. Dan ketika akhir Muscab, aku menjadi ketua, anggota FLP Cabang Pemalang tersisa beberapa saja. Apalah lagi pengurusnya.
Sempat aku merasa berjuang sendiri di FLP Cabang Pemalang. Sebab entah untuk berapa lama, aku memang mengurusinya sendirian. Aku merencanakan sendiri kegiatannya, lalu mengsms sebanyak-banyak nomor HP untuk ikut kegiatan, pada hari H, aku juga yang mengisi. Hal itu berlangsung untuk beberapa lama.
Untunglah, kemudian aku menemukan beberapa prajurit setia. Ada Siti Untari, Santi Widiyastuti, Alfiyaturrahmah, Yani Noor Wijayanti, juga Desi Lisnasari. Meski aggota FLP tak banyak, tapi kegiatan rutin berjalan. Sempat juga mengadakan talkshow dan pelatihan kepenulisan.
Setelah menjabat ketua untuk beberapa lama, tiba saatnya Muscab lagi. Siti Untari terpilih menjadi ketua FLP Cabang Pemalang yang baru. Teman-teman kemudian memanggilku Pa Ketu X. Sementara pengurus dan anggota lain tak banyak berubah. Masih nama-nama yang tadi. Pasang surut kondisi FLP Cabang Pemalang. Anggota-anggota petensial datang dan pergi. Beberapa bulan aktif di FLP, lalu keluar kota, hilang lagi.
Terakhir, aktivis FLP Pemalang tertinggal tiga saja. Aku, Untari dan Fiya. Kegiatan rutin semakin jarang, lalu vakum. Meski ketika ada Pameran Buku di Pemalang, aku hampir selalu diundang untuk mengisi talkshow kepenulisan. Sebab ketika manggung aku selalu memperkenalkan dan membawa nama FLP, itu menjadi kesempatan untuk mengabarkan pada orang-orang, bahwa di Pemalang ada FLP.
Beberapa bulan yang lalu, aku diundang secara khusus oleh Kantor Perpustakaan dan Arsip Daerah Kabupaten Pemalang. Aku diundang sebagai Library Supporter. Rupanya di Perpusda sedang ada program Perpuseru. Selama lima hari, aku rutin mengikutinya.  Asyiknya juga pelatihan kepustakaan itu. Pada sesi-sesi akhir peserta diminta membuat program-program yang akan dijalankan Perpusda menggandeng Library Supporter. Aku sendiri turut serta merencanakan program-program itu. Salah satu rencana adalah mengadakan Akademi Menulis Pemalang.
Aku kembali mengajak teman-teman FLP, berasaha menggairahkan kembali semangat ber-FLP. Meski ternyata, yang masih dapat diandalkan tinggal Untari dan Fiya. Tidak apa. Akademi Menulis Pemalang pun dimulai, rutin dua pekan sekali, bertempat di Perpusda. Ada beberapa teman baru yang cukup antusias untuk jadi penulis. Alhamdulillah. Group WA pun dibuat. Diskusi-diskusi tidak hanya berjalan pada pertemuan rutin. Seru juga.
Dan minggu lalu, tiba-tiba aku harus menjadi Ketua FLP Wilayah Jawa Tengah. Padahal…, kondisi per-FLP-an sedang begini ya.. Doakan kawan, agar aku dapat mengemban amanah dan menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya.

Dah…..

Artikel terkait

0 komentar :

Posting Komentar