Kamis, 04 September 2014

Belajar JADI GURU, Lagi

Serial BELAJAR JADI GURU cukup lama berhenti. Apakah karena aku memang berhenti belajar? Kalau yang dimaksud belajar adalah membaca buku-buku atau artikel pendidikan, barangkali benar, aku cukup lama tak belajar, kecuali sedikit sekali. Akan tetapi, kewajiban sebagai waka kurikulum, serta praktek mengajar setiap hari harusnya terus memberiku ‘pelajaran.’ Bukankah cara belajar yang paling efektif adalah praktek dan mengajarkan?
Ya, seharusnya aku banyak belajar dari pengalaman mengajar setiap hari. Tentang bagaimana mengatasi anak-anak yang mulai bosan mengikuti pelajaran, mulai gaduh, atau mulai  tak patuh mengikuti perintah. Belajar mengatasi diri ketika ada satu dua anak, atau banyak yang kebetulan belum terpancing mood belajarnya. Belajar, bagaimana membuat anak-anak seakan terhipnotis, sehingga mengikuti setiap kata, setiap arahan, dan setiap gerak-gerik ustadznya. Dengan begitu kegiatan belajar-mengajar pun berjalan dengan baik.
Ya. seharusnya.
Akan tetapi, barangkali saat ini aku memang kurang belajar. Rasanya tak banyak perkembangan soal kemampuanku mengajar. Mudah-mudahan saja tidak mengalami penurunan. Ya, mungkin aku kurang belajar, hingga tak banyak yang dapat kutuliskan. Serial BELAJAR JADI GURU pun mandeg untuk sekian lama.
Setidaknya, hari ini aku menyadari hal ini. Aku harus lebih banyak lagi belajar. Juga menuliskannya.  Seperti tempo hari, aku sempat sedikit terpancing emosi ketika beberapa anak kelas tiga banyak yang maunya keluar melulu. Ijin pipis, ijin cuci tangan, ijin... Sebagian malah ngacir ketika aku lengah. Nah, ketika emosi terpancing begitu, aku juga harus belajar, menahan diri, menata hati, agar hanya kata-kata kebenaran dan kebaikan yang keluar dari lisan ini. Agar tetap mampu memberikan bimbingan yang baik untuk anak-anak didik.
Kemarin lusa lain lagi, ketika mengajar kelas lima. Rasanya gaduh banget. Ya, betul, rata-rata anak masih mengikuti pembelajaran. Akan tetapi, kelas begitu bising, ruwet. Campur-campur antara obrolan tentang materi pembelajaran dengan hal lainnya. Dan aku terus memberikan pelajaran, menyampaikan materi sambil berinteraksi dengan mereka. Jam terakhir, jam 14.00 s/d 15.00 memang perlu energi yang lebih dalam mengajar. Kala anak-anak dan ustadznya ‘barangkali’ mulai... lelah. Ah, sepertinya gurunya saja yang lelah. Anak-anak mah bugar. Hanya memang untuk jam-jam akhir, guru harus lebih kreatif, karena kecenderungan anak untuk tidak konsentrasi lebih tinggi.
Di akhir pelajaran, ketika hendak kutinggalkan mereka, aku pun bertanya; “Eh, kalian itu, kalau yang mengajar bukan Ustadz Surahman, bising begini tidak sih?” Dan jawaban mereka; “Tidak.”
“Lha terus kenapa kalau Ustadz Surahman yang ngajar kalian bising?” aku tanya lagi. Dan apa jawab mereka? “Karena Ustadz itu lucu, jadi kita enjoy aja gitu...”
Lah...
“Tapi kalian paham kan apa yang ustadz sampaikan tadi?”
“Paham...” kata anak-anak.
Nah, aku tak tahu, apakah gaya pembelajaranku itu baik apa tidak. Aku memang suka berjanda dan bertingkah sok lucu di hadapan anak-anak. Ya, ingat, di hadapan anak-anak saja. Karena dihadapan orang dewasa aku ini TIDAK LUCU! Pakain tanda seru. Jangan ketawai ya..
Benar, dihadapan anak-anak, sesungguhnya aku lebih suka bersikap sok lucu, sok kekanak-kanakan, daripada menjadi guru yang angker atau setidaknya sok dewasa, sok tua. Tapi ya tidak tahu persis, bagaimana penilaian mereka.  Aku sering coba berinteraksi dengan mereka, meski tentang hal-hal yang sepele dan tak menyangkut pelajaran. Seperti ketika ada ada anak yang pegang penggaris berpuzzle. Aku pinjam, lalu kuotak-atik puzzle itu sampai posisinya betul semua. Hal ini berhasil itu membuat pendekatan terhadap dua tiga peserta didik.
Kalau mood lagi baik, hal-hal kecil saja bisa jadi lelucon dan buat anak-anak ketawa ceria. Seperti tadi ketika mengajar kelas tiga A, aku menemukan kertas terserak. Aku ambil, lalu ada anak yang tanya; “Ustadz mau sulapan ya?”
Kujawab; “Iya.”
Aku berpikir satu detik dan “cluing..,” ada ide.
Lalu aku bertanya; “Ini berapa? Satu kan?”
“Nah, ustadz akan buat judi dua..”
Lalu aku robek kertas itu jadi dua, anak-anak pun ketawa...
Pun dalam pembelajaran langsung, kebetulan tahun ini mengajar PAI, harus lebih banyak bercerita. Maka seringkali kupilihkan cerita-cerita lucu yang berkait pembelajaran. Sekarang, anak-anak kelas 3 dan 4 seringkali minta diceritain kisah Syekh Ali Jenggot, tokoh dalam ceritaku. Kebetulan cerita itu nyambug dan pas banget dengan materi pelajaran kelas 3 dan 4. Jadi ya aku ceritakan dengan seru..., dan lucu.
Selalu ada dua sisi memang. Ketika dekat dengan anak-anak, sering bercanda dan melucu, secara umum lebih mudah masuk ke dunia mereka, dan dalam hal-hal terstentu memudahkan pembelajaran dan pendidikan. Akan tetapi satu sisi, terkadang jadi berkurang rasa hormat mereka akan ustadz-ustadzahnya. Seakan benar-benar hanya teman.., bukan ustadz atau gurunya. Termasuk, kebanyakan sama sekali tak punya rasa takut terhadap ustadznya.
Nah, sebagai guru aku harus belajar menyeimbangkan diri. Sering bercanda tanpa kehilangan ketegasan. Tegas tanpa harus marah-marah. Marah jika memang harus marah, dan dengan marah yang benar. Yang terakhir ini multi tafsir dan multi pendapat ya? Marah. Mungkin lain kali aku tuliskan.

Intinya, aku harus belajar lagi, lebih banyak lagi belajar dan belajar terus. Semoga...

Artikel terkait

0 komentar :

Posting Komentar