Serial BELAJAR JADI GURU cukup lama berhenti. Apakah
karena aku memang berhenti belajar? Kalau yang dimaksud belajar adalah membaca
buku-buku atau artikel pendidikan, barangkali benar, aku cukup lama tak
belajar, kecuali sedikit sekali. Akan tetapi, kewajiban sebagai waka kurikulum,
serta praktek mengajar setiap hari harusnya terus memberiku ‘pelajaran.’
Bukankah cara belajar yang paling efektif adalah praktek dan mengajarkan?
Ya, seharusnya aku banyak belajar dari pengalaman
mengajar setiap hari. Tentang bagaimana mengatasi anak-anak yang mulai bosan
mengikuti pelajaran, mulai gaduh, atau mulai
tak patuh mengikuti perintah. Belajar mengatasi diri ketika ada satu dua
anak, atau banyak yang kebetulan belum terpancing mood belajarnya. Belajar, bagaimana membuat anak-anak seakan
terhipnotis, sehingga mengikuti setiap kata, setiap arahan, dan setiap
gerak-gerik ustadznya. Dengan begitu kegiatan belajar-mengajar pun berjalan
dengan baik.
Ya. seharusnya.
Akan tetapi, barangkali saat ini aku memang kurang
belajar. Rasanya tak banyak perkembangan soal kemampuanku mengajar.
Mudah-mudahan saja tidak mengalami penurunan. Ya, mungkin aku kurang belajar,
hingga tak banyak yang dapat kutuliskan. Serial BELAJAR JADI GURU pun mandeg
untuk sekian lama.
Setidaknya, hari ini aku menyadari hal ini. Aku
harus lebih banyak lagi belajar. Juga menuliskannya. Seperti tempo hari, aku sempat sedikit
terpancing emosi ketika beberapa anak kelas tiga banyak yang maunya keluar
melulu. Ijin pipis, ijin cuci tangan, ijin... Sebagian malah ngacir ketika aku
lengah. Nah, ketika emosi terpancing begitu, aku juga harus belajar, menahan
diri, menata hati, agar hanya kata-kata kebenaran dan kebaikan yang keluar dari
lisan ini. Agar tetap mampu memberikan bimbingan yang baik untuk anak-anak
didik.
Kemarin lusa lain lagi, ketika mengajar kelas lima.
Rasanya gaduh banget. Ya, betul, rata-rata anak masih mengikuti pembelajaran.
Akan tetapi, kelas begitu bising, ruwet. Campur-campur antara obrolan tentang
materi pembelajaran dengan hal lainnya. Dan aku terus memberikan pelajaran,
menyampaikan materi sambil berinteraksi dengan mereka. Jam terakhir, jam 14.00
s/d 15.00 memang perlu energi yang lebih dalam mengajar. Kala anak-anak dan
ustadznya ‘barangkali’ mulai... lelah. Ah, sepertinya gurunya saja yang lelah.
Anak-anak mah bugar. Hanya memang untuk jam-jam akhir, guru harus lebih
kreatif, karena kecenderungan anak untuk tidak konsentrasi lebih tinggi.
Di akhir pelajaran, ketika hendak kutinggalkan
mereka, aku pun bertanya; “Eh, kalian itu, kalau yang mengajar bukan Ustadz
Surahman, bising begini tidak sih?” Dan jawaban mereka; “Tidak.”
“Lha terus kenapa kalau Ustadz Surahman yang
ngajar kalian bising?” aku tanya lagi. Dan apa jawab mereka? “Karena Ustadz itu
lucu, jadi kita enjoy aja gitu...”
Lah...
“Tapi kalian paham kan apa yang ustadz sampaikan
tadi?”
“Paham...” kata anak-anak.
Nah, aku tak tahu, apakah gaya pembelajaranku itu
baik apa tidak. Aku memang suka berjanda dan bertingkah sok lucu di hadapan
anak-anak. Ya, ingat, di hadapan anak-anak saja. Karena dihadapan orang dewasa
aku ini TIDAK LUCU! Pakain tanda seru. Jangan ketawai ya..
Benar, dihadapan anak-anak, sesungguhnya aku lebih
suka bersikap sok lucu, sok kekanak-kanakan, daripada menjadi guru yang angker
atau setidaknya sok dewasa, sok tua. Tapi ya tidak tahu persis, bagaimana
penilaian mereka. Aku sering coba
berinteraksi dengan mereka, meski tentang hal-hal yang sepele dan tak
menyangkut pelajaran. Seperti ketika ada ada anak yang pegang penggaris
berpuzzle. Aku pinjam, lalu kuotak-atik puzzle itu sampai posisinya betul
semua. Hal ini berhasil itu membuat pendekatan terhadap dua tiga peserta didik.
Kalau mood
lagi baik, hal-hal kecil saja bisa jadi lelucon dan buat anak-anak ketawa
ceria. Seperti tadi ketika mengajar kelas tiga A, aku menemukan kertas terserak.
Aku ambil, lalu ada anak yang tanya; “Ustadz mau sulapan ya?”
Kujawab; “Iya.”
Aku berpikir satu detik dan “cluing..,” ada ide.
Lalu aku bertanya; “Ini berapa? Satu kan?”
“Nah, ustadz akan buat judi dua..”
Lalu aku robek kertas itu jadi dua, anak-anak pun
ketawa...
Pun dalam pembelajaran langsung, kebetulan tahun
ini mengajar PAI, harus lebih banyak bercerita. Maka seringkali kupilihkan
cerita-cerita lucu yang berkait pembelajaran. Sekarang, anak-anak kelas 3 dan 4
seringkali minta diceritain kisah Syekh Ali Jenggot, tokoh dalam ceritaku. Kebetulan
cerita itu nyambug dan pas banget dengan materi pelajaran kelas 3 dan 4. Jadi
ya aku ceritakan dengan seru..., dan lucu.
Selalu ada dua sisi memang. Ketika dekat dengan
anak-anak, sering bercanda dan melucu, secara umum lebih mudah masuk ke dunia
mereka, dan dalam hal-hal terstentu memudahkan pembelajaran dan pendidikan.
Akan tetapi satu sisi, terkadang jadi berkurang rasa hormat mereka akan
ustadz-ustadzahnya. Seakan benar-benar hanya teman.., bukan ustadz atau
gurunya. Termasuk, kebanyakan sama sekali tak punya rasa takut terhadap
ustadznya.
Nah, sebagai guru aku harus belajar menyeimbangkan
diri. Sering bercanda tanpa kehilangan ketegasan. Tegas tanpa harus marah-marah.
Marah jika memang harus marah, dan dengan marah yang benar. Yang terakhir ini
multi tafsir dan multi pendapat ya? Marah. Mungkin lain kali aku tuliskan.
Intinya, aku harus belajar lagi, lebih banyak lagi
belajar dan belajar terus. Semoga...
0 komentar :
Posting Komentar