Pendiam. Malah
beberapa orang mengenalku sebagai orang yang hampir-hampir tak pernah biacara. Kalau
pun bicara suaraku lirih, mirip iklan jadul itu, nyaris tak terdengar. Selain
itu, aku tak PDan, suka minder, grogian, tak pandai bergaul. Itulah aku yang
dulu. Ya, dulu... Meski sejujurnya, hari ini pun aku masih yang dulu, tak jauh
berbeda. Diriku saat ini tak lepas dari kekurangan-kekurangan itu. Masih suka
minder, masih merasa tak pandai berbincang dan berramah-tamah.
Benar bahwa aku sempat menoreh prestasi – akademik
– yang cukup memuaskan. Berkali-kali peringkat satu waktu SMK. Lalu dapat
beasiswa untuk kulia. Lulus S1 dalam waktu 3 tahun. Akan tetapi, aku juga bukan
orang yang pintar-pintar amat. Malah kadang-kadang juga culun, dalam hal-hal
tertentu.
Siapa sangka bahwa di kemudian hari, ada buku yang
terbit atas namaku sebagai penulisnya. Really
something deh. Kemudian aku diminta mengisi bedah buku, training, talk show
dan semacamnya. Harus bebicara di depan orang banyak, menepis grogi, mengusir minder.
Pada akhirnya aku pun merasa bisa, PD, merasa dapat berbagi ilmu, meski
setitik. Kemudia buku kedua, ketiga, keempat dan seterusnya terbit. Meski belum
kesohor, tapi semakin banyak pula yang mengenalku sebagai penulis. Tak hanya di
daerah sendiri aku tapi juga diminta mengisi acara keluar kota. Memang belum
keliling Indonesia, belum ke luar negeri, tapi setidaknya Jawa Barat pernah, Jawat
Timur juga. Kalau di Jawa Tengah dan Jogja alhamdulillah
sudah cukup sering.
Alhamdulillah, berkat menulis buku, terbuka jalan-jalan
lainnya. Pun ketika pindah ke Pemalang sebagai pengangguran dan mulai punya
tanggungan keluarga, ada juga yang menawari pekerjaan. Di kala banyak orang
kesulitan mencari kerja, aku justru ditawari, setengah maksa pula. Mulanya aku
rada enggan ketika diminta jadi TU di SDIT Buah Hati. Baru ketika pengurus
yayasan nelpon langsung, aku menanggapi. Kudatangi sekolah itu dan mendaftar
sebagai karyawan. Inilah aku hari ini, masih jadi Waka Kurikulum di SDIT yang
sama.
Mana dulu sempat menduga pula, kalau ternyata aku
bisa menjahit baju. Setahun yang lalu, entah datang dari mana itu, punya ide
bikin kaos, nyablon sendiri. Aku beli alat-alat sablon dari seorang kawan,
dengan syarat harus diajari cara nyablon. Aku pun belajar, satu kali, hanya
sampai bikin film, belum praktek nyablon. Kupraktekkan di rumah. Ternyata aku
bisa nyablon kaos, meski masih yang sederhana-sederhana saja.
Lalu tiba-tiba ada ide beli mesin jahit. Nyari-nyari
mesin bekas. Dapat. Sekalian obras pula. Lalu beli bahan kaos kiloan. Coba bikin
kaos, bikin gamis, kok ternyata bisa.
Istriku kursus menjahit, harusnya 4 bulan,
dijalani 2 bulan. Berbekal pengetahuan istri, kami terima pesanan. Ternyata teman-teman
pada pesan. Jadilah aku tukang jahit. Istriku yang biasa motongin bahannya. Pesanan
kian beraneka. Belajarlah aku menjahit berbagai model gamis dan kaos. Belajar,
tapi hasilnya langsung dijual. Sayangnya, sudah beberapa bulan terakhir ini
berhenti, gak tahu mengapa...
Intinya, bayak sekali kemudahan yang Allah berikan
kepadaku. Tapi rupanya aku sungguh kurang bersyukur. Kesulitan-kesulitan,
kesedihan, rasa lelah dan sebagainya justru sering mendominasi. Astaghfirullah, ampuni ya Allah.
Tempo hari ketika komen-komenan sama Dwi Suwiknya,
adik kelasku di kampus yang kini aktif menulis, aku jadi tersentil. “Sayang
kalau potensi yang Allah berikan tidak kita kembangkan ya?” tanyanya. Sindiran
halus buatku.
Ya, berbagai kemampuan telah Allah karuniakan
kepadaku. Aku sungguh harus mensyukurinya. Mengoptimalkan potensi itu, untuk
diriku, keluarga, negara, umat manusia dan agama. Mudah-mudahan aku bisa.
Doakan aku ya kawan.
Maka aku mulai nulis lagi. Kubuta blog baru, gurupenamenari@blogspot.com. Alhamdulillah sudah mulai posting-posting.
Moga memberi manfaat. Bila sudi memberi masukan, aku sungguh berterima kasih. Yuks,
semangat berkarya, semangat menulis!
Semoga kemampuan-kemapuanku yang lain juga dapat
terus aku kembangkan.
semoga istiqomah ngisi blognya..amiin
BalasHapusAamiin, insya Allah...
BalasHapus