Tahun 2003
seingatku, di akhir masa kuliah, diajak teman aku bergabung menjadi anggota FLP
Yogyakarta. Waktu itu masih jamannya Galang Lufityanto, Ganjar Widhiyoga,
Jazimah Al-Muhyi, Hara Hope dan lain-lain yang aku sudah lupa. Sekedar
ikut-ikutan saja, biar ada kegiatan. Tapi aku senang mengikutinya, setidaknya
aku punya teman-teman baru. Menulis jelas bukan duniaku waktu itu. Bahkan aku
kenal baca buku saja sewaktu kuliah. Dari SD hingga SMK tak kenal buku kecuali
buku pelajaran. Nah menulis…, aih.
Ah, suatu sore di pertemuan rutin FLP
Yogyakarta, pengurus memberi tugas kepada seluruh anggota untuk membuat tulisan
bebas. Ya, bebas sebebas-bebasnya. Akan tetapi aku bingung mau nulis apa.
Hingga mendekati dead line waktu, aku
pun menulis, kira-kira begini. “Aku sedang mengikut pertemuan Forum Lingkar
Pena Yogyakarta. Panitia memberiku tugas menulis bebas. Tapi aku bingung mau
nulis apa. Ya sudah, aku tulis ini saja.”
Ya, begitu,
hanya begitu. Betapa lugunya. Betapa aku tak bisa nulis. Di lain kesempatan,
giliran karyaku, sebuah cerpen dibedah. Ah, hancur. Dibantai aku. Juelek
banget.., barangkali itu pikir teman-teman. Tak mengapa, sebab memang waktu itu
aku sama sekali tak berniat jadi penulis. Tiada bakat sedikit pun, pikirku. Memang,
hingga hampir lulus kuliah itu, aku belum tahu apa bakatku.
Waktu berlalu.
Aku lulus kuliah, kerja. Aku semakin
jarang mengikuti pertemuan rutin FLP. Hingga tidak sama sekali. Menulis bukan
duniaku.
Terus
bagaimana ceritanya aku bisa jadi penulis? Begini. Tahun 2005, aku resign dari sebuah BMT, koperasi syariah
terbesar di Indonesia kala itu. Sebabnya, aku dan kakak berencana membuka
rental komputer. Kami telah membeli
beberapa komputer, akan tetapi tempat usaha belum tersedia. Kakak sudah memesan
tempat kontrakan, akan tetapi kami masih harus menunggu beberapa waktu, sebab
tempat usaha itu masih ditempati. Padahal aku terlanjur resign.
Tiada
kegiatan. Bingung mau apa. Ada komputer. Nulis.
Ya, aku
menulis. Serius kali ini. Tersemangati oleh kakak kelas di kampus yang katanya
sudah menerbitkan buku, aku jadi pengen. Maka aku nulis buku. Ya, nulis buku.
Tidak nulis cerpen seperti waktu ikut FLP. Tidak nulis artikel untuk Koran atau
majalah. Hampir tiap hari aku menulis. Ngebut, sehari bisa sepuluhan halaman.
Sekitar dua pekan, satu naskah buku kelar.
Naskah itu
kubawa ke penerbit, Navila group yang kantor Jl. Kaliurang, mendekat ke Merapi.
Aku ketemu kakak tingkatku di kampus yang telah menerbitkan buku itu. Solichul
Hadi namanya. Dia menjabat sebagai manager sekaligus senior editor di penerbit
tersebut. Naskah kuberikan padanya.
Langsung dikopi ke komputer, langsung dibaca, dan langsung…
DITOLAK.
Itu sebuah
pengalaman. Dan pengalaman adalah pelajaran. Kata Kak Solichul Hadi, tulisanku
bahasanya terlalu kaku, tidak menarik. Aku tak menyerah, nulis lagi, ngebut
lagi. Sehari masih bisa sepuluhan halaman. Kali ini dengan bahasa yang rebih
ringan, lebih renyah. Dua pekan, satu naskah buku hampir kelar. Tak sabar aku.
Kubawa naskah baru itu ke peberbit yang sama. Kembali aku bertemu dengan
Solichul Hadi. Naskahku di kopi. Sayangnya kali ini tak bisa langsung dibaca.
Barangkali karena lagi sibuk, atau berpikir tulisanku pasti tak bermutu, sudah
ada pengalaman sebelumnya.
Aku pun tak
berharap banyak. Tujuanku terutama adalah untuk mendapat masukan, tentang
naskahku yang baru. Aku tak sabar untuk mendapatkan kabar tentang naskahku itu.
Ingin dapat masukan dari penerbit. Dua pekan kira-kira setelah kukirimkan
naskah itu, aku menelpon peberbit. Kak Solichul Hadi juga yang mengangkat. Mengesampingkan
rasa malu aku pun bertanya: “Kak, gimana naskahku?”
Sekali lagi,
aku hanya ingin mendapat masukan tentang tulisanku yang baru. Ingin bisa
menulis lebih baik. Barangkali kelak, aku jadi penulis beneran. Barangkali
tulis-menulis akan menjadi duniaku. Lalu apa jawaban Kak Solichul Hadi?
“Oh, naskamu
sudah diterima. Insya Allah, nanti
sekitar dua tiga bulan bisa terbit.”
Jreng!!!
“Hidup Kaya
Raya Mati Masuk Surga,” keren juga kan judul buku pertamaku. Tentu saja aku
sama sekali belum kaya raya, apa lagi masuk surga. Akan tetapi itu sebuah
cita-cita. Covernya asyik, ilustrasi bikinan Firman yang kelak menjadi temanku,
bahkan ngontrak bersama di satu rumah.
Dapat
menerbitkan buku rasanya sungguh luar biasa. Seperti mimpi. Kubuka lagi-kubuka
lagi buku bersampul merah dengan gambar orang berleha-leha itu. Ini bukuku.
Keren.., aku penulis. Kubaca berulang, meski aku sendiri yang menulis, cukup
hapal apa isinya. Lalu kala honor menulis pertama kali dapat kupegang. Ah,
bahagia. Uang terbanyak yang sempat aku pegang kala itu.
Terbit satu
buku membuat semangat menulisku makin membara. Beku berikutnya kurancang,
kutulis, makin ngebut. Dua pekan kemudian satu naskah buku kembali rampung
kugarap. Kuberikan naskah itu ke Kak Solichul Hadi. Cukup lama aku tak mendapat
kabar naskahku. Sementara aku mulai sibuk mengurusi rental komputer yang sudah
buka. Tapi kemudian Kak Solichul Hadi mengabarkan, bahwa dia berencana
menerbitkan bukuku itu sendiri, bikin penerbitan sendiri. Betul, selang dua atau
tiga bulan, buku keduaku terbit, “The Power of Smile.” Hasyiik…!
Sebab telah
menerbitkan buku itu, aku jadi PD untuk bergabung lagi degan FLP. Beberapa kali
aku sempat ikut lagi pertemua FLP Yogyakarta di Balerung UGM sayap selatan. Di
situ aku kenal Mas Ferry Muhammad, seorang penulis yang punya penerbitkan buku.
Dua naskah buku yang telah kutulis kuserahkan padanya. Beberapa waktu kemudian
dia mengabarkan bahwa akan menerbitkan salah satu naskahku. Ah, luar biasa.
Cukup lama proses penerbitannya. Aku bersabar. Sempat Mas Ferry mengajakku ke
percetakan, lalu memberikan setting buku itu sebelum dicetak. Dan ketika buku
ketigaku benar-benar terbit, aku semakin yakin, bahwa aku memang bisa menulis,
he.
Beberapa pihak
pun mulai mengenalku sebagai penulis buku. Sempat aku diundang beberapa pihak
untuk bedah buku. Selanjutnya, aku harus belajar ngomong. Ya, ngomong. Sebab
aslinya aku ini pendiam. Jarang-jarang bicara. Kalau pun bicara, suaraku lirih,
nyaris tak terdengar. Memang, dulunya aku pemalu, sangat pemalu. Akan tetapi,
setelah menerbitkan buku, aku jadi lebih PD bicara di depan publik. Meski
seringkali aku harus latihan dan mempersiapkan betul-betul apa yang hendak
kusampaikan ketika mengisi bedah buku, kajian ataupun training.
Karier
kepenulisanku sedikit naik setelah buku keempatku terbit. “Change Now! Jurus
Dahsyat Muslim Huebat!” diterbitkan BookMagz Pro-U Media. Ya, Pro-U, penerbit
keren di Jogja itu. Setelah buku ke empat itu terbit, aku jadi lebih sering
diminta jadi pembicara. Entah untuk bedah buku, training kepenulisan atau yang
lainnya. Rasanya, aku benar-benar jadi penulis.
Awal tahun
2007 aku menikah, lalu pindah ke Pemalang, tanpa pekerjaan. Satu yang kubisa,
menulis. Maka itu yang aku lakukan. Setahun kemudian aku mulai bekerja di SDIT
Buah Hati, memulai karier sebagai TU. Kemudian menjadi guru PAI, TIK, Bahasa
Indonesia, Bahasa Inggris, hingga Waka Kesiswaan dan terakhir Waka Kurikulum.
Bersama itu, beberapa bukuku terbit. Ada True Friend, Muslim Tangguh, Unlimited
Learning, Journey of Life…
Di sisi lain,
seorang teman menggandengku untuk mendirikan FLP Cabang Pemalang. Pak Prapto
namanya. Kabarnya beberapa artikelnya pernah dimuat di Koran. Tentu saja aku
setuju, sebab menulis memang telah menjadi duniaku. Aku pun kontak-kontak Mba
Izzatul Jannah, ketua FLP Jawa Tengah kala itu. Bersama PAKAR; Pusat Kajian
Remaja, akhirnya FLP Cabang Pemalang Lounching. Kali itu sempat menghadirkan
Afifah Afra.
Mula-mula
kegiatan rutin FLP Pemalang diikuti cukup banyak peserta, akan tetapi semakin
surut dan surut. Malah Pak Prapto, sang ketua juga mulai kurang aktif. Dan
ketika akhir Muscab, aku menjadi ketua, anggota FLP Cabang Pemalang tersisa
beberapa saja. Apalah lagi pengurusnya.
Sempat aku
merasa berjuang sendiri di FLP Cabang Pemalang. Sebab entah untuk berapa lama,
aku memang mengurusinya sendirian. Aku merencanakan sendiri kegiatannya, lalu
mengsms sebanyak-banyak nomor HP untuk ikut kegiatan, pada hari H, aku juga
yang mengisi. Hal itu berlangsung untuk beberapa lama.
Untunglah,
kemudian aku menemukan beberapa prajurit setia. Ada Siti Untari, Santi
Widiyastuti, Alfiyaturrahmah, Yani Noor Wijayanti, juga Desi Lisnasari. Meski
aggota FLP tak banyak, tapi kegiatan rutin berjalan. Sempat juga mengadakan
talkshow dan pelatihan kepenulisan.
Setelah
menjabat ketua untuk beberapa lama, tiba saatnya Muscab lagi. Siti Untari
terpilih menjadi ketua FLP Cabang Pemalang yang baru. Teman-teman kemudian
memanggilku Pa Ketu X. Sementara pengurus dan anggota lain tak banyak berubah.
Masih nama-nama yang tadi. Pasang surut kondisi FLP Cabang Pemalang.
Anggota-anggota petensial datang dan pergi. Beberapa bulan aktif di FLP, lalu
keluar kota, hilang lagi.
Terakhir,
aktivis FLP Pemalang tertinggal tiga saja. Aku, Untari dan Fiya. Kegiatan rutin
semakin jarang, lalu vakum. Meski ketika ada Pameran Buku di Pemalang, aku
hampir selalu diundang untuk mengisi talkshow kepenulisan. Sebab ketika
manggung aku selalu memperkenalkan dan membawa nama FLP, itu menjadi kesempatan
untuk mengabarkan pada orang-orang, bahwa di Pemalang ada FLP.
Beberapa bulan
yang lalu, aku diundang secara khusus oleh Kantor Perpustakaan dan Arsip Daerah
Kabupaten Pemalang. Aku diundang sebagai Library Supporter. Rupanya di Perpusda
sedang ada program Perpuseru. Selama lima hari, aku rutin mengikutinya. Asyiknya juga pelatihan kepustakaan itu. Pada
sesi-sesi akhir peserta diminta membuat program-program yang akan dijalankan
Perpusda menggandeng Library Supporter. Aku sendiri turut serta merencanakan
program-program itu. Salah satu rencana adalah mengadakan Akademi Menulis
Pemalang.
Aku kembali
mengajak teman-teman FLP, berasaha menggairahkan kembali semangat ber-FLP.
Meski ternyata, yang masih dapat diandalkan tinggal Untari dan Fiya. Tidak apa.
Akademi Menulis Pemalang pun dimulai, rutin dua pekan sekali, bertempat di
Perpusda. Ada beberapa teman baru yang cukup antusias untuk jadi penulis.
Alhamdulillah. Group WA pun dibuat. Diskusi-diskusi tidak hanya berjalan pada
pertemuan rutin. Seru juga.
Dan minggu
lalu, tiba-tiba aku harus menjadi Ketua FLP Wilayah Jawa Tengah. Padahal…,
kondisi per-FLP-an sedang begini ya.. Doakan kawan, agar aku dapat mengemban
amanah dan menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya.
Dah…..