Menurutku.., iya, memang hanya menurutku, sebagian besar hidup kita ini
adalah kenangan. Terutama hidupku sendiri. Sebab sebagian besar hal yang kualami
memang telah berlalu, panjang, sedari keluar dari rahim ibunda, hingga sedetik
lalu. Sedang saat ini, akan segera pula berlalu, kemudian tumbuh menjadi
kenangan. Sementara esok, masih belum pasti adanya. Maka, yang ada adalah
kenangan dan kenangan.
Dan tahukah kamu, sebagian besar kenangan itu selalu bicara tentang kamu.
Ya kamu. Hanya kamu. Ah, nanti, seluruh isi buku ini, sepertinya juga akan
terus bicara tentang kamu. Kamu yang hilang. Kamu yang jadi kenangan. Iya kamu
adalah kenangan itu. Sebab aku mencintai kenangan, maka aku juga mencintaimu.
Sebab aku mencintaimu, aku mencintai kenangan.
Aku.., iya hanya aku – tak mengapa kan ngomongin diri sendiri? – adalah pencinta
kenangan, pencintamu. Dalam sendiri, ketika larut malam, saat turun hujan, anganku
tak berhenti melayang, ke sana ke mari menyusuri kenangan, meniti jalan-jalan
yang pernah kita lewati bersama.
Berselancar di lautan kenangan, seringkali buat bibir ini tersenyum, meski
tak jarang hendak menjungkalkankanku karena siksanya. Kamu tahu, kehilanganmu
adalah siksaan terberat yang pernah kurasai? Kadang aku juga malu. Malu akan
diriku yang dulu. Malu akan tingkahku yang lalu-lalu. Bahkan aku malu karena sampai
kehilanganmu. Kamu yang indah itu.
Sementara baris-baris kalimat ini kutulis ketika hujan menyapa. Tanpa
petir dan geledeknya, suasana saat ini sungguh syahdu, mengajakku bergegas,
membuat lubang dan lorong angan, menuju dunia kenangan. Dunia kamu. Aku akan
berpetualang ke sana. Sebab aku tahu, kamu akan selalu ada di sana. Meski tidak
sedang menungguku.
Andai aku bisa pergi ke masa lalu... Ya, hanya andai. Sebab bila menjadi
kenyataan, itu pasti hanya dalam film, dan film bukan kenyataan. Kenyataannya,
aku suka berandai andai. Andaianku kali ini, tentang kembali ke masa lalu.
Bukan back to the future, sebab kamu
juga tahu, future itu kan masa depan.
Andai andaianku itu jadi kenyataan, barangkali aku akan lebih sering
pergi ke masa lalu, dari pada menjalani hari ini. Bukankan telah kukatakan
tadi, bahwa aku ini adalah pencinta kenangan. Sedang kenangan itu, hampir
seluruhnya adalah kamu. Meski hidupku terasa hari ini dan aku berjuang untuk
hari esok, tapi kenangan demi kenangan itu sungguh sesuatu. Kenangalah yang
membuatku hari ini merasa lebih hidup. Kenganganlah yang tetap membuatku
berdiri untuk menyongsong hari esok.
Kini aku sadar, bila dapat memaknai masa lalu dengan lebih mendalam,
seringkali kita dapat berpetualang ke hutan-hutan yang lebih lebat,
gunung-gunung yang lebih menjulang, menyusur sungai yang lebih deras arusnya,
hingga samudera yang maha luas. Segala sesuatunya menjadi lebih dalam, lebih
tinggi, lebih lapang, bahkan bila dibanding saat-saat peristiwa itu berlaku.
Seperti ketika perjumpaan dengan seseoarang, dulu terasa biasa saja.
Orang itu bukan siapa-siapa dalam hidup ini. Hadir, pergi, lalu segera dilupakan.
Akan tetapi ketika masa berganti, pertemuan itu, orang itu, kepergiannya,
ternyata menjadi bermakna. Mengenang senyumnya membuatku kembali tersenyum.
Mengenang saat-saat bersamanya menghadirkan bahagia. Lalu ketika teringat
kepergianya, terasa betul ada yang hilang. Ah, aku pernah merasainya,
kehilangan itu. Meski seseorang itu bukan kamu, maaf, aku juga sempat
kehilangan dia. Tapi kehilanganku akan dirimu, rasanya kini telah menutup semua
kehilangan. Terlalu besar, terlalu luas, terlalu dalam.
Atau waktu kecil, ketika itu aku, kamu dan kawan satu sekolahan
jalan-jalan menyusuri perbukitan dekat kampong. Ah, dulu rasanya sungguh biasa.
Tiada yang spesial. Akan tetapi setelah musim berganti musim, tahun demi tahun
berlalu, pengalaman sederhana itu ternyata menjadi arus kenangan yang begitu
deras menghayutkan. Merenunginya, memaknaiknya, membuatku ingin kembali ke
sana. Ingin kecil lagi. Ingin bersama-sama lagi.
0 komentar :
Posting Komentar