Ujian Sekolah
Berstandar Provinsi, atau gampangnya kita sebut saja US, untuk tingkat Sekolah
Dasar akan dilaksanakan, 16 Mei mendatang. Saya yang saat ini masih menjadi waka
kurikulum di SDIT Buah Hati tentu ikut merasa was-was, kalau-kalau hasil US
nanti tidak memuaskan. Apalah lagi para guru wali pendamping belajar kelas enam.
Ah, pasti ketar-ketir tiap hari.
Sampai panas dingin, pusing tujuh ratus keliling, sepertinya. Tanggung jawab
yang besar dan berat. Dua kwintal dua kilo plus dua on barangkali. Bagaimana
hasil US peserta didik nanti, guru wali kelas enamlah yang akan terutama
dilihat. Kalau nilainya bagus-bagus, mungkin akan ikut mendapat pujian dan
ucapan selamat. Mungkin. Ya, hanya mungkin. Akan tetapi kalau ternyata nilai-nilai
US peserta didik tidak memuaskan, guru wali kelas enam harus siap bila mendapat
cibiran.
Padahal,
sukses tidaknya peserta didik kelas enam menempuh US mestinya tak hanya menjadi
tanggung jawab yang ditindihkan pada pundak guru wali kelas enam. Seluruh
civitas akademik, juga orang tua memiliki peran masing-masing yang teramat
penting. Ah, sungguh TERLALU, misalnya bila guru wali kelas enam sudah
pontang-panting, melakukan berbagai cara agar nilai anak-anak didiknya
bagus-bagus, sementara orang tua di rumah justru tidak perhatian, pasrah
bongkokan kepada sekolah. Contoh lain, ketika guru wali kelas enam benar-benar
lagi pusing tujuh ratus keliling atau bahkan tujuh ribu keliling karena melihat
hasil tryout yang belum memuaskan, sementar guru lain tidak memberikan
dukungan, justru melemahkan. Misalnya dengan pertanyaan retoris; “Piye sih ngajare?”
Ah,
sesungguhnya yang was-was dengan hasil US tidaklah hanya peserta didik yang
akan menjalaninya – ah, sebagian dari mereka nyantai-nyantai aja tuh – orang tua
dan guru wali kelas enam, tapi juga kepala sekolah yang akan mendapat sorotan,
di atasnya ada pengawas, kemudian kepala UPPK, lalu Kepala Dinas Pendidikan
Pemuda dan Olahraga tingkat Kabupaten. Barangkali hingga bapak Bupati. Maka,
semua yang “berkepentingan” dengan nilai US itu melakukan berbagai upaya agar
nilai-nilai US peserta didik di sekolah memuaskan.
Nah,
upaya-upaya itu ada yang baik, positif dan memang selayaknya dilaksanakan. Akan
tetapi ada pula yang buruk. Saya hendak fokus pada upaya yang buruk ini.
Misalnya bila ada oknum guru, kepala sekolah, pengawas atau yang di atasnya,
atau yang lain-lain, yang secara langsung ataupun tidak, menganjurkan peserta
didik untuk berbuat curang dalam menempuh ujian. Anak disuruh contek-mencontek,
yang pintar memberi jawaban pada yang tulalit mikirnya. Pengawas ruang ujian
pun dilarang “rusuh” mengingatkan, apalah lagi mengabil lembar jawaban atau
hukuman lain. Cukup dilihat saja lah. Jangan sampai menganggu kekhusukan dan
meruntuhkan mental anak dalam mengerjakan ujian dengan cara tidak jujur itu.
Saya sih
berharap oknum seperti itu tidak ada lagi. Akan tetapi kalau ternyata masih
ada, atau ternyata oknumnya banyak…, waduh bahaya. Sungguh bahaya. Institusi
pendidikan kita, sepertinya akan sukses membentuk apa yang disebut Emha Ainun
Najib dengan Generasi Tinggal Landas.
Artinya generasi yang menginggalkan landasan nilai-nilai kehidupan.
Ironis.
Institusi yang
seharusnya membentuk karakter, akhlak mulia calon-calon pemimpin bangsa, justru
menjadi tempat yang menghancurkan karakter, merusak akhlak. Guru yang
semestinya menjadi tauladan, tersungkur nilainya dihadapan kebenaran dan nilai
kehidupan. Cukup satu contoh tadi saja, menganjurkan, atau menggiring anak-anak
agar tidak jujur-jujur amat dalam menempuh Ujian Sekolah. Sungguh itu cukup
untuk merusak karakter anak dan pada akhirnya menghancurkan generasi penerus
bangsa.
Sungguh,
kemunafikan yang tak seyogiyanya dipelihara. Bila hal tersebut dilakukan oleh
oknum guru misalnya, pastilah peserta didik akan belajar. Bahwa jujur itu baik,
jujur itu akhlak mulia, akan tetapi bila menghadapi masalah penting, kepepet
pula, maka curang juga oke-oke saja. Anak akan belajar, bahwa untuk hal-hal
yang penting baginya, segala cara bolehlah dilakukan, termasuk bila harus menggunakan
cara-cara yang melanggar tata nilai dan aturan. Anak akan belajar bahwa nilai
US yang sesungguhnya hanya angka-angka itu adalah hal yang sangat penting,
bahkan lebih penting dari sifat jujur dan akhlak mulia.
Cukup!
Apalah artinya
mengajari, membimbing anak-anak kita agar berkarakter unggul, berakhlak mulia
selama hampir enam tahun di sekolah dasar, kalau akhirnya dirusak sendiri oleh
guru, gegara khawatir akan nilai US. TERLALU!
Keberhasilan
peserta didik menempu US memang penting, akan tetapi sungguh tidak
penting-penting amat, bahkan teramat kecil nilainya bila dibanding dengan
nilai-nilai positif kehidupan. Teramat tak berharga bila harus ditukar dengan
kejujuran yang mengakibatkan rusaknya generasi. Sebab memang mencapai nilai US
yang bagus bukanlah tujuan pendidikan kita. Pembaca sudah tahu kan tujuan
Pendidikan Nasional?
Tujuan Pendidikan Nasional yaitu
mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indoensia seutuhnya,
yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan
berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani
dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab
kemasyarakatan dan kebangsaan.
Nah..! Bertaqwa
yang bagai mana, berbudi pekerti luhur seperti apa, sehat rohani model apa,
kepribadian yang mantap versi siapa, tanggung jawab dalam hal apa, kalau
diajari curang, diajari munafik, diajari mementingkan materi daripada tata
nilai, diajari mengkhawatiran penilaian orang dari pada berpegang teguh
membentuk pribadi yang mulia?
Maka saya
mengajak siapa saja, terutama yang terkait erat dengan dunia pendidikan, mari
sama-sama saling dukung, agar anak-anak kita berhasil dalam sekelolah yang
salah satu indikasinya adalah bagusnya nilai US. Ah, itu hanya indikasi kecil
saja. Akan tetapi jangan sampai karena itu kita membuang jauh kejujuran. Jangan
karena itu kita khianati hati nurani. Jangan sampai untuk itu kita
menghancur-leburkan karakter generasi penerus bangsa, hingga menjadi generasi
tinggal landas.
0 komentar :
Posting Komentar