Meskipun
gunung, dipacul terus akan datar juga, kata Pram, sastrawan tenar itu. Pun
harapan yang membumbung, dihantap kecewa bertubi-tubi dan terus-menerus niscaya
akan tumbang juga. Bagaimana halnya akan cinta?
Ah, cintaku
pada anak-anak, kian tumbuh. Pada anak sendiri, Lavy, Cantik dan Si Lulu lucu
tentu akan selalu kujaga. Mereka itu.., semoga menghantarkan kami, orang
tuanya, ke Sorga. Malah cinta kepada anak-anak orang, juga kian benderang.
Anak-anak itu…, anak-anak SDIT Buah Hati yang tak absen kukunjungi, rata-rata
enam kali dalam seminggu, 24 kali dalam sebulan. Mereka itu…, teman-teman
kecilku.
Tentu saja,
dalam bahasa resmi, mereka adalah murid-muridku. Di sekolah, aku harus mengajar
dan mendidik, dengan upaya maksimal. Itu tugasku, kewajibanku. Dan sambil
mengajar itu, bermain-main, asyik juga. Seperti tadi ketika menggantikan
mengajar Bahasa Indonesia di kelas satu A. Oleh Ustadzah Untari aku diberi
pesan untuk membacakan halaman tiga tiga, lalu anak-anak mengerjakan soal pada
halaman tiga empat.
Pada halaman
33 itu ada cerita berjudul Tolong
Menolong. Cerita yang harus kubacakan. Ya, lalu kubaca. “Tolong Menolong..”
Entah berapa
kali aku mengulang kalimat itu, judul itu, “Tolong Menolong..” Tentu dengan sedikit
gaya, nada yang berbeda-bedza. Itu saja sudah membuat anak-anak ketawa-tawa,
ketiwi-ketiwi, ketuwu-ketuwu. “Tolong Menolong…” eh, Tolong Menolong lagi.
“Tolong
Menolong…” dan anak-anak pun ketawa.
“Tikus keluar
tolong menolong…” eh.
“dari
lobang…!” kata seorang anak.
“Tikus keluar
dari lobang tolong menolong. Aduh tolong menolong lagi…”
“Oke, tikus
keluar dari lobang. Ia ingin tolong menolong.., hup!”
“Ingin cari
makan…!” teriak beberapa anak.
“Baik sekarang
serius. Ustadz serius nih… Tikus keluar dari lobang. Ia ingin cari makan, tolong
MELONTONG….” Gerrr..
Ah, gara-gara
tolong menolong itu, aku ditarik ke sana ke mari oleh anak-anak. Ya, meski
sedang mengajar, main-main mengasyikkan juga. Meredakan stress. Mengusir
gundah. Meski tentu, aku tak boleh hanya main-main saja. Mengajar, mendidik,
itu yang utama.
Pada aslinya,
aku memang suka main-main. Benar, sebagian jiwaku masihlah anak-anak, mungkin
sebagian besar darinya. Ah, barangkali masih kanak-kanak. Maka bermain bersama
anak adalah hal yang menyenangkan. Kunikmati saja. Karena itu, di luar jam
belajar, sesekali, ah sering aku sempatkan untuk bermain dengan anak-anak, atau
setidaknya berbaur dengan mereka.
Satu hal yang
tak boleh kulupa, meski bermain-main adalah hal yang menyenangkan, memberi
pendidikan adalah lebih penting dari itu. Ini yang tak mudah, bagaimana
bermain-main, bercanda-canda, tapi sekaligus mendidik. Sebab canda tawa memang
seringkali melenakan. Bila kelewatan, alih-alih ilmu, pendidikan, paling yang
hanya ketawa-ketawa itu yang didapat. Belum kalau ucapan-ucapan yang tak
semestinya terceplos, atau perilaku yang tak seharusnya ikut muncul.
Semoga saja
aku bisa. Memadukannya, bermain dan belajar, bercanda dan mendidik. Mohon
doanya kawan..
Tersebab cinta
itu telah bersemi. Kurasa dialah yang meski dipertahankan. Meski setumpuk
kecewa menggelinding dan menubruk, meski luka kadang menganga, cinta harus
tetap bertahan. Namanya juga anak-anak, bikin gemas barangkali adalah sebagian
sifat mereka. Kata ‘gemas’ itu terkadang berganti ‘geregetan’ atau di kala
tertentu ‘pengen marah.” Dan meski begitu; gemas, geregetan, pengen marah, sebentar
kemudian aku harus sudah siap bercanda-canda lagi, main-main lagi,
ketawa-ketawa lagi..
0 komentar :
Posting Komentar