Senin, 11 Januari 2016

Tolong-MELONTONG




Meskipun gunung, dipacul terus akan datar juga, kata Pram, sastrawan tenar itu. Pun harapan yang membumbung, dihantap kecewa bertubi-tubi dan terus-menerus niscaya akan tumbang juga. Bagaimana halnya akan cinta?
Ah, cintaku pada anak-anak, kian tumbuh. Pada anak sendiri, Lavy, Cantik dan Si Lulu lucu tentu akan selalu kujaga. Mereka itu.., semoga menghantarkan kami, orang tuanya, ke Sorga. Malah cinta kepada anak-anak orang, juga kian benderang. Anak-anak itu…, anak-anak SDIT Buah Hati yang tak absen kukunjungi, rata-rata enam kali dalam seminggu, 24 kali dalam sebulan. Mereka itu…, teman-teman kecilku.
Tentu saja, dalam bahasa resmi, mereka adalah murid-muridku. Di sekolah, aku harus mengajar dan mendidik, dengan upaya maksimal. Itu tugasku, kewajibanku. Dan sambil mengajar itu, bermain-main, asyik juga. Seperti tadi ketika menggantikan mengajar Bahasa Indonesia di kelas satu A. Oleh Ustadzah Untari aku diberi pesan untuk membacakan halaman tiga tiga, lalu anak-anak mengerjakan soal pada halaman tiga empat.
Pada halaman 33 itu ada cerita berjudul Tolong Menolong. Cerita yang harus kubacakan. Ya, lalu kubaca. “Tolong Menolong..”
Entah berapa kali aku mengulang kalimat itu, judul itu, “Tolong Menolong..” Tentu dengan sedikit gaya, nada yang berbeda-bedza. Itu saja sudah membuat anak-anak ketawa-tawa, ketiwi-ketiwi, ketuwu-ketuwu. “Tolong Menolong…” eh, Tolong Menolong lagi.
“Tolong Menolong…” dan anak-anak pun ketawa.
“Tikus keluar tolong menolong…” eh.
“dari lobang…!” kata seorang anak.
“Tikus keluar dari lobang tolong menolong. Aduh tolong menolong lagi…”
“Oke, tikus keluar dari lobang. Ia ingin tolong menolong.., hup!”
“Ingin cari makan…!” teriak beberapa anak.
“Baik sekarang serius. Ustadz serius nih… Tikus keluar dari lobang. Ia ingin cari makan, tolong MELONTONG….” Gerrr..
Ah, gara-gara tolong menolong itu, aku ditarik ke sana ke mari oleh anak-anak. Ya, meski sedang mengajar, main-main mengasyikkan juga. Meredakan stress. Mengusir gundah. Meski tentu, aku tak boleh hanya main-main saja. Mengajar, mendidik, itu yang utama.
Pada aslinya, aku memang suka main-main. Benar, sebagian jiwaku masihlah anak-anak, mungkin sebagian besar darinya. Ah, barangkali masih kanak-kanak. Maka bermain bersama anak adalah hal yang menyenangkan. Kunikmati saja. Karena itu, di luar jam belajar, sesekali, ah sering aku sempatkan untuk bermain dengan anak-anak, atau setidaknya berbaur dengan mereka.
Satu hal yang tak boleh kulupa, meski bermain-main adalah hal yang menyenangkan, memberi pendidikan adalah lebih penting dari itu. Ini yang tak mudah, bagaimana bermain-main, bercanda-canda, tapi sekaligus mendidik. Sebab canda tawa memang seringkali melenakan. Bila kelewatan, alih-alih ilmu, pendidikan, paling yang hanya ketawa-ketawa itu yang didapat. Belum kalau ucapan-ucapan yang tak semestinya terceplos, atau perilaku yang tak seharusnya ikut muncul.
Semoga saja aku bisa. Memadukannya, bermain dan belajar, bercanda dan mendidik. Mohon doanya kawan..
Tersebab cinta itu telah bersemi. Kurasa dialah yang meski dipertahankan. Meski setumpuk kecewa menggelinding dan menubruk, meski luka kadang menganga, cinta harus tetap bertahan. Namanya juga anak-anak, bikin gemas barangkali adalah sebagian sifat mereka. Kata ‘gemas’ itu terkadang berganti ‘geregetan’ atau di kala tertentu ‘pengen marah.” Dan meski begitu; gemas, geregetan, pengen marah, sebentar kemudian aku harus sudah siap bercanda-canda lagi, main-main lagi, ketawa-ketawa lagi..

Artikel terkait

0 komentar :

Posting Komentar