Rabu, 11 November 2015

Sunyi



Sunyi. Tak ada isyak, keluh, apalah lagi jeritan. Tidak, lirih pun tidak.  Hanya mata Paiman meleleh. Mengalir airmata, deras, bertambah deras dan kian membanjir.
Berkelebatan masa lalu. Hari-hari susah, tapi sungguh Paiman ingin kembali ke sana. Ke tiga puluh tahun silam. Di mana hamparan ladang, sejuknya perkampungan berhias pohon-pohon yang menjulang, suasana penuh gotong-royong di kampong adalah hidupnya, suka dan duka-dukanya. Di mana telor ceplok dan lele dumbo ada dua makan paling lezat yang pernah dia santap. Di mana sehari bisa makan sekali adalah anugerah Tuhan yang luar biasa nikmat. Di mana jangkrik, capung, bahkan ulat – uler srengenge yang racunnya siap memberikan rasa gatal tiada terlawankan itu – adalah kawan-kawan akrabnya. Di mana petuah emak adalah hiburan paling berharga bagi Paiman. Layar tancap di Lapangan Donorejo yang pernah dia tonton, Brama Kumbara, memang memberinya kesegara di antara sesak hidupnya. Memang menghibur, membuatnya lupa bahwa besok mungkin dia takkan bisa makan. Akan tetapi sepuluh kalinya dari itu masih kalah menghibur dari petuah si emak yang menentramkan jiwa.
Tak ada orang kaya di kampong Karangsembung itu. Kalau toh ada yang jadi juragan tembakau, itu adalah orang kampong sebelah. Semua miskin. Kalaulah dibuat strata, tentulah semua tergolong orang miskin papan atas. Akan tetapi keluarga Paiman adalah yang termiskin dari yang miskin papan atas itu. Biyungnya si miskin. Rumah gedek enam kali delapan meter di sebidang tanah warisan yang isinya kosong mlompong itu adalah harta mereka satu-satunya.
Sebenarnya yang dimaksud keluarga paiman itu adalah si Emak dan Paiman sendiri. Bapaknya gugur, jatuh saat nderes, mengambil sari gula di atas pohon kelapa. Waktu itu, Paiman masih dikandung si emak. Sedang simbah-simbahnya jelas telah jauh mendahului. Tersebab entah, tapi “tua” barangkali adalah jawaban paling mudah. Sedang keluarga lainnya tak jelas, pakde, mbokde, pak lek atau bulik, sepupu…, entah. Entah memang tidak punya, entah sudah pada berpulang juga, atau berhambur nyari hidup di negeri orang, Jakarta dan sekitarnya.
Siang itu, panas membakar ubun-ubun Paiman. Untunglah angin berhembus cukup kencang, maka Paiman bisa menerbangkan layangan. Tak kuat juga dia nahan panas. Ditalilah benang layang, pergi dia ke kalen. Dengan dua tangan, dia guyurkan air kalen ke muka dan kepalanya. Sementara si emak, ada di tengah sawah dekat situ. Ngangsak.  
Tahukan engkau ngaksak itu? Menuai sisa-sisa padi yang terlewat tak terpetik, di sawah yang baru dipanen. Itulah pekerjaan utama emaknya Paiman. Pekerjaan musiman tentu, tiap musim panen padi. Selebihnya lebih banyak menganggur, ongkang-ongkang, sambil berdoa, minta rejeki maring Gusti.
Dan siang itu adalah ujian hidup, pengalaman batin tak terlupakan buat Paiman. Sebab emaknya tiba-tiba menghilang. Habis mengguyur muka dan kepala dengan air kali itu, dipandangnya sawah sebelah. Emaknya tak ada. Loh, kemana? Dia pandang sekitar, tak ada. Tak ada siap-siapa.
Tak mungkin, pikirnya. Sebab barusan emaknya masih di tengah sawah.
“Mak…, make….” Paiman kemudian teriak. Namun tiada jawab. Dia berlari ke sawah sebelah, ke tengah, didapatinya tubuh si emak tengkurap, tak bergerak.
“Mak..! Make kenapa?!”
Paiman tahu emaknya pingsang. Dia hendak gotong, tapi pasti tak kuat. Maka Paiman lari dan lari, menyusur pematang. Cepat sekali. Sekali dia terpeleset, jatuh nggelosor ke sawah berlendut. Belepot pakaian dan tubuhnya. Dia bangkit dan lari lagi. Beruntung dia ada Pak Pawiro, tentangga yang lagi angon bebek. Terengah-engah dia minta pertolongan.
Emak dibawa pulang, masih pingsan. Dan dalam igaunya, si emak berpesan; “Man, Paiman… mbesok gede koe kudu sukses, lan ojo lali karo Gusti..!
Kata sukses itu sebenarnya, teramat jarang didengar di kampong Karangsembung. Malah hampir-hampir tak pernah. Orangnya buruh sawah semua, siapa mau bahas soal kesuksesan. Paiman sendiri pernah dengar kata itu dari turis luar kota yang kebetulan singgah di kampong itu selama tiga hari. Waktu itu Mbah Rono, kiyai Kampong Karangsembung mempersilahkan si turis berpidato di mushalla habis shalat isya’. Di situlah kata “sukses” dia dengar. Nah, sekarang kata itu terdengar, justru dari emaknya sendiri yang sedang pingsan. Aneh bukan buatan.
Singkat cerita, Paiman tumbuh dewasa, jadi remaja yang otot-otonya tua sebab kerja. Bisalah buruh macul untuk dapat upah, kebutuhan makan dua hari. Atau kalau ada orang hajatan dia bisa juga bantu-bantu, kerjaan sampingan. Spesialis bikin teh panas plus bersih-bersih piring gelas.
Satu kesempatan kemudian membelokkan jalur hidupnya. Waktu itu seseorang tetangga pulang dari kota, untuk pergi lagi dalam dua minggu. Diajaknya Paiman ke kota, kerja di pabrik. Pilihan sulit sebenarnya, sebab si emak kian renta, dan tak ada siapa-siapa untuk menyokong hidupnya, selain Paiman sendiri. Tapi toh Paiman pergi juga. Tawakal pada Allah akan nasib dirinya dan terutama keberlangsungan hidup emaknya.
Ke Jakarta dia pergi. Pabrik plastik. Mula-mula tukang bersih-bersih, terus naik pangkat, operator mesin. Tiga tahun berlalu, lalu Paimin punya rencana. Rencana buka warung Mi Ayam. Dia jalankan rencana itu. Untuk ukuran orang udik, sukses juga dia termasuknya. Warung Mi Ayamnya jalan, bertambah banyak pelanggan. Mula-mula di emperan, lalu ngontrak, lalu bisa beli rumah sendiri. Betah dia di Jakarta. Dia kawin teman dulu kerja di pabrik plastik. Terlalu cantik buatnya, tapi mau bagaimana lagi, sudah jodoh. Kini mereka beranak dua.
Emaknya, 70 tahun lebih berapa – entah –, lama tinggal sendiri di kampong. Sungguh ingin, Paiman memboyongnya ke kota. Akan tetapi emaknya tak mau, pilih di kampong, meski sendiri, meski hidup susah, meski untuk menyambung hidup saja, tetangga yang lebih sering membantu. Pernah Paimin paksa-paksa emaknya ikut ke Jakarta. Benar, si emak ikut. Bertahan dua setengah hari. Sebab di hari kedua sudah merengek minta pulang kampong.
Penghidupannya sudah di Jakarta, maka Paiman juga tak berencana pulang kampong untuk tinggal. Hanya bersama keluarga mudik tiap kali lebaran. Itu pun kalo lagi gak eman sama duit. Pasalnya biaya mudik juga gak murah. Belum lagi warung yang terpaksa harus tutup kalo ditinggal pulang kampong.
Sering Paimin merasa diri sebagai anak durhaka. Teganya meninggalkan emak sendiri yang sudah renta di kampong. Tapi mau bagaimana lagi. Lebih dari itu, karena kesibukan Paimin seringkali melupakan emaknya. Mendoakan juga lupa. Semakin dia merasa bersalah kalo ingat itu.
Di kala tertentu, Paiman sengaja menyempatkan waktu untuk merenung, mengingat-ingat masa lalu. Mengenang-enang hidup bersama emaknya. Senyuman, kesabaran, keteguhan, bahkan garis wajah emaknya, tergambar jelas di benak. Dia ingat pula nasihat-nasihatsi emak. Suatu kali si emak pernah berpesan. “Le, ojo tau mangan panganan opo duit haram. Urip susah, luwih becik tinimbang mangan sing haram.” Dan itu menjadi pedoman hidupnya, catatan penting dalam menjalani hidup sebagai pedagang.
Ingat pula Paimin kejadian waktu itu. Ibunya tiba-tiba tak ada. Ternyata pingsan di tengah sawah. Dan igauan itu.. “Man, Paiman… mbesok gede koe kudu sukses, lan ojo lali karo Gusti..!” Terburai air mata Paiman.
Kesempatan untuk bertemu, bersitatap dan berkomunikasi dengan si emak hanyalah ketika Paiman mudik. Pernah Paiman coba menghubingin tetangga di kampong via HP, minta tolong hendak bicara sama si emak. Akan tetapi emak Paiman hanya bilang;  “Opo?! Opo?! Opoo?!!”
Dan kabar pagi ini menghujam jantung kesadaran Paiman. Tentangga yang dulu dia telpon itu jam delapan seperempat tadi gantian menelpon. Kabar duka…
Sunyi. Tak ada isyak, keluh, apalah lagi jeritan. Tidak, lirih pun tidak.  Hanya mata Paiman meleleh. Mengalir airmata, deras, bertambah deras dan kian membanjir. Tumpah ruah kedukaannya, penyesalannya, rasa bersalahnya, kerinduannya, cintanya. Pada si emak.

Artikel terkait

0 komentar :

Posting Komentar