Kamis, 27 Februari 2014

Harus Bagaimana Coba?

Apakah halnya yang membuat peserta didik memiliki rasa hormat dan patuh terhadap gurunya? Sifat-sifat seperti apakah yang harus dimiliki seorang guru, sehingga peserta didik senantiasa percaya dan mengikuti nasihat-nasihatnya?
Pertanyaan-pertanyaan semacam itu akhir-akhir ini sering terlintas di benak. Pasalnya, terkadang aku merasa kewalahan menghadapi tingkah anak-anak didikku. Anak-anak yang “pandai” dalam artian mereka sangat serius mengikuti setiap pelajaran yang diberikan guru-gurunya, tak peduli mata pelajaran apa dan siapa yang mengajar, tentu jarang menjadi sumber masalah. Akan tetapi pada setiap kelas yang kita ajar, seringkali ada satu dua, atau bahkan banyak anak yang menuntut guru-gurunya untuk lebih bersabar. Selain itu, guru-gurunya juga harus lebih kreatif dan senantiasa meningkatkan diri dalam kapasitas mengajar.
Selalu saja ada anak yang tidak konsentrasi dalam belajar. Guru menerangkan, tapi justru ngobrol, mainan, bikin gaduh dengan memukul-mukul meja dan sebagainya. Ada anak yang selalu ingin keluar kelas, atau setidaknya mendekat ke pintu, ndlosor di situ. Gerah alasannya. Ada anak yang tak pernah mendengarkan kata-kata gurunya, kecuali sedikit saja. Malah di saat-saat tertentu ada yang sempat-sempatnya berantem, tak hanya adu mulut, tapi juga pukul-pukulan, padahal ada guru tepat di hadapan mereka.
Beberapa waktu lalu, aku bahkan terpancing emosi. Kala itu aku sedang mengajar Qiro’ati. Seperti biasa,anak-anak mengantri satu-satu untuk membaca jilid. Kala aku sedang menyimak salah satu anak yang sedang mengaji, tiba-tiba dua anak yang sedang mengantri berantem, entah bagaimana asal mulanya. Mereka sempat saling pukul dan tendang. Kalau dua-duanya laki-laki, barangkali kita masih bisa bilang, “Wajah lah anak berantem.” Akan tetapi kali ini kali ini anak laki-laki dengan anak perempuan. Tak hanya adu mulut, tapi juga saling pukul dan tendang. Mereka bahkan tak peduli bahwa, hanya berjarak satu meter dari mereka ada gurunya, aku.
Pada akhirnya akulah yang harus mengevaluasi diri. Begitu sulit aku melerai mereka dan menghentikan saling marah. Aku sampai ikut berteriak, tapi dua anak itu masih hendak saling pukul. Masih mengepalkan tangan, memelototkan mata dengan wajah garang. Anak yang perempuan kuperintahkan untuk duduk. Agar lebih tenang maksudku. Akan tetapi justru membantah, berteriak lantang, tak mau duduk. Dia masih berkonsentrasi dengan kemarahannya. Aku sampai harus mengulang perintahku beberapa kali, dengan nada yang keras. Baru ia duduk.
Sehari-hari, dua anak itu sebenarnya bukan sumber masalah. Dua-duanya relatif penurut. Akan tetapi entah, dalam hal ini mengapa jadi begitu kasar dan garang. Bahkan aku, gurunya seolah-olah tak digubris.
Dalam kasus-kasus yang lain, kadang aku juga habis cara. Seperti menghadapi anak yang minat belajarnya belum tersulut. Memperhatikan penjelasan hampir tak pernah, mencatat sama sekali enggak, bahkan ulangan tak mau mengerjakan. Apalah lagi sekedar PR. Kunasihati berkali-kali sampai mulutku berbusa, kuingatkan sampai aku sendiri yang bosan, tapi masih tak ada perkembangan. Harus bagaimana?
Kasus yang berbeda, tentu perlu penanganan yang tak sama pula. Akan tetapi secara umum, ada perbedaan cukup mencolok antara anak-anak jaman saya SD dulu dengan anak-anak SD yang saat ini kuajar. Dulu, anak-anak secara umum punya rasa takut, segan dan hormat pada gurunya. Mereka senantiasa patuh terhadap kata-kata guru, sami’na wa’atha’na. Sangat jarang ada anak yang sempat bermain-main dengan guru. Bahkan untuk bertanya tentang pelajaran pun, seringkali malu, atau takut.
Saat ini, anak-anak relatif lebih berani, lebih baik dalam hal komunikasi dengan guru-gurunya. Sebagian besar tak pernah takut untuk bertanya, mengutarakan pendapat, atau bahkan membantah gurunya, bila si guru kebetulan kesleo, salah dalam memberikan teori tertentu. Aku sebagai guru, justru sering nimbrung anak-anak yang sedang bermain. Dalam hal ini, kadang posisiku tak jauh dari seorang teman. Akan tetapi ada gejalan negatif yang sepertinya muncul. Rasa hormat dan segan terhadap guru rasanya sudah berkurang. Bayang pun, ketika aku menyampaikan pelajaran, seorang anak pernah nyeletuk: “Pak guru itu ngomong apa kentut?”

Ini sekedar pengamatanku, seringkali anak-anak jaman sekarang kurang menghormati gurunya. Barangkali salah. Akan tetapi, sebagai guru, menghadapi kondisi-kondisi yang demikian, aku harus terus belajar. Sementara ini aku belum menemukan jawaban. Harus bagaimana? Barangkali pembaca punya solusi, silahkan dibagi-bagi.

Artikel terkait

0 komentar :

Posting Komentar