Apakah halnya yang membuat peserta didik memiliki
rasa hormat dan patuh terhadap gurunya? Sifat-sifat seperti apakah yang harus
dimiliki seorang guru, sehingga peserta didik senantiasa percaya dan mengikuti
nasihat-nasihatnya?
Pertanyaan-pertanyaan semacam itu akhir-akhir ini
sering terlintas di benak. Pasalnya, terkadang aku merasa kewalahan menghadapi
tingkah anak-anak didikku. Anak-anak yang “pandai” dalam artian mereka sangat
serius mengikuti setiap pelajaran yang diberikan guru-gurunya, tak peduli mata
pelajaran apa dan siapa yang mengajar, tentu jarang menjadi sumber masalah.
Akan tetapi pada setiap kelas yang kita ajar, seringkali ada satu dua, atau
bahkan banyak anak yang menuntut guru-gurunya untuk lebih bersabar. Selain itu,
guru-gurunya juga harus lebih kreatif dan senantiasa meningkatkan diri dalam
kapasitas mengajar.
Selalu saja ada anak yang tidak konsentrasi dalam
belajar. Guru menerangkan, tapi justru ngobrol, mainan, bikin gaduh dengan
memukul-mukul meja dan sebagainya. Ada anak yang selalu ingin keluar kelas,
atau setidaknya mendekat ke pintu, ndlosor
di situ. Gerah alasannya. Ada anak yang tak pernah mendengarkan kata-kata
gurunya, kecuali sedikit saja. Malah di saat-saat tertentu ada yang
sempat-sempatnya berantem, tak hanya adu mulut, tapi juga pukul-pukulan,
padahal ada guru tepat di hadapan mereka.
Beberapa waktu lalu, aku bahkan terpancing emosi.
Kala itu aku sedang mengajar Qiro’ati. Seperti biasa,anak-anak mengantri
satu-satu untuk membaca jilid. Kala aku sedang menyimak salah satu anak yang
sedang mengaji, tiba-tiba dua anak yang sedang mengantri berantem, entah
bagaimana asal mulanya. Mereka sempat saling pukul dan tendang. Kalau
dua-duanya laki-laki, barangkali kita masih bisa bilang, “Wajah lah anak
berantem.” Akan tetapi kali ini kali ini anak laki-laki dengan anak perempuan.
Tak hanya adu mulut, tapi juga saling pukul dan tendang. Mereka bahkan tak
peduli bahwa, hanya berjarak satu meter dari mereka ada gurunya, aku.
Pada akhirnya akulah yang harus mengevaluasi diri.
Begitu sulit aku melerai mereka dan menghentikan saling marah. Aku sampai ikut berteriak,
tapi dua anak itu masih hendak saling pukul. Masih mengepalkan tangan, memelototkan
mata dengan wajah garang. Anak yang perempuan kuperintahkan untuk duduk. Agar
lebih tenang maksudku. Akan tetapi justru membantah, berteriak lantang, tak mau
duduk. Dia masih berkonsentrasi dengan kemarahannya. Aku sampai harus mengulang
perintahku beberapa kali, dengan nada yang keras. Baru ia duduk.
Sehari-hari, dua anak itu sebenarnya bukan sumber
masalah. Dua-duanya relatif penurut. Akan tetapi entah, dalam hal ini mengapa
jadi begitu kasar dan garang. Bahkan aku, gurunya seolah-olah tak digubris.
Dalam kasus-kasus yang lain, kadang aku juga habis
cara. Seperti menghadapi anak yang minat belajarnya belum tersulut. Memperhatikan
penjelasan hampir tak pernah, mencatat sama sekali enggak, bahkan ulangan tak
mau mengerjakan. Apalah lagi sekedar PR. Kunasihati berkali-kali sampai mulutku
berbusa, kuingatkan sampai aku sendiri yang bosan, tapi masih tak ada
perkembangan. Harus bagaimana?
Kasus yang berbeda, tentu perlu penanganan yang tak
sama pula. Akan tetapi secara umum, ada perbedaan cukup mencolok antara
anak-anak jaman saya SD dulu dengan anak-anak SD yang saat ini kuajar. Dulu,
anak-anak secara umum punya rasa takut, segan dan hormat pada gurunya. Mereka senantiasa
patuh terhadap kata-kata guru, sami’na wa’atha’na.
Sangat jarang ada anak yang sempat bermain-main dengan guru. Bahkan untuk
bertanya tentang pelajaran pun, seringkali malu, atau takut.
Saat ini, anak-anak relatif lebih berani, lebih
baik dalam hal komunikasi dengan guru-gurunya. Sebagian besar tak pernah takut
untuk bertanya, mengutarakan pendapat, atau bahkan membantah gurunya, bila si
guru kebetulan kesleo, salah dalam memberikan teori tertentu. Aku sebagai guru,
justru sering nimbrung anak-anak yang sedang bermain. Dalam hal ini, kadang
posisiku tak jauh dari seorang teman. Akan tetapi ada gejalan negatif yang
sepertinya muncul. Rasa hormat dan segan terhadap guru rasanya sudah berkurang.
Bayang pun, ketika aku menyampaikan pelajaran, seorang anak pernah nyeletuk: “Pak
guru itu ngomong apa kentut?”
Ini sekedar pengamatanku, seringkali anak-anak
jaman sekarang kurang menghormati gurunya. Barangkali salah. Akan tetapi,
sebagai guru, menghadapi kondisi-kondisi yang demikian, aku harus terus
belajar. Sementara ini aku belum menemukan jawaban. Harus bagaimana? Barangkali
pembaca punya solusi, silahkan dibagi-bagi.
0 komentar :
Posting Komentar